Islam Wasathiyah Di Indonesia

Oleh : Prof. Dr. H. Masnun Tahir, M.Ag (Rektor UIN Mataram)

Pandangan Islam dan pluralisme di Indonesia tidak hanya didefinisikan dalam dialektika antara golongan nasional dan agama, tetapi telah menjadi subjek perhatian di era revolusi reformasi 1998, ketika rakyat menuntut demokrasi dan kebebasan berpendapat yang lebih luas. Di sisi lain, kebebasan ini telah memicu munculnya opini bahkan gerakan secara terbuka dan transparan di masyarakat, termasuk gerakan yang menjadi panji Islam, melalui itulah muncul pertamakali gerakan yang menganggap dirinya paling militan terhadap Islam di Indonesia , dan kemudian muncul ekstremisme dan terorisme.

Oleh karena itu, pluralisme merupakan kekuatan pendorong dalam membangun dan mempromosikan diri, dengan demikian harapannya adalah  Indonesia akan berkontribusi secara signifikan untuk menciptakan suasana yang ditandai dengan kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menyelaraskan orang lain, menghormati dan menerima perbedaan, budaya dan agama yang membedakan mereka, dan untuk mencapai tujuan bersama ini diperlukan kerjasama untuk membangun perdamaian.1

Dengan menggabungan teks-teks hukum dalam Al-Qur’an dan Hadis dapat menunjukkan bahwa perbedaan, keragaman dan pluralisme dalam budaya, agama, warna kulit, ras dan bahasa merupakan  karakteristik yang paling menonjol dari keberadaan manusia dan salah satu kebutuhan terpenting dalam bermasyarakat, itu semua merupakan Sunnatullah di alam semesta. Pentingnya perbedaan tidak hanya muncul dengan sendirinya melainkan keragaman tersebut adalah asal mula manusia dalam bermasyarakat,  karena perbedaan itu juga sebuah panggilan jiwa yang dibutuhkan oleh alam, dan kenyataannya perbedaan merupakan  fenomena yang tersimpan untuk makhluk tuhan pada umumnya Terutama manusia.

Islam menganggap perbedaan sebagai hal yang wajar, karena merupakan Sunnatullah bagi makhluk Allah dan alam semesta, karena seluruh alam semesta didasarkan pada multiplisitas dan perbedaan dalam segala jenis, gambar dan warna.2 Dengan demikian, perbedaan, keragaman dan pluralitas itu merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah Tuhan Yang Maha Esa dengan itulah ia menunjukkan kebesaran dan kebijaksanaan-Nya.3 Islam telah mengakui perbedaan dalam batas-batas logis dan masuk akal, seperti kisah Nabi Muhammad saw. pada waktu shalat asar di Bani Qurayza itu merupakan bukti terbaik dari pengakuan dan legitimasi perbedaan dalam Sunnah Nabi, karena ada banyak fakta dan masalah yang berbeda yang telah terjadi sepanjang zaman dan bahkan selama era Rasulullah saw.

Moderasi adalah prinsip hidup bagi masyarakat Indonesia

Sumber-sumber sejarah telah membuktikan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui tasawuf melalui konvergensi budaya dan penerimaan adat istiadat dan tradisi lokal yang diakui oleh masyarakat tanpa melupakan identitas mereka, dan penyebarannya secara damai dan penuh toleransi, hal nilah yang menjadikan sebagian besar orang di Indonesia tertarik untuk memeluk agama Islam. Abdul Rahman Mas’ud juga menegaskan hal tersebut, dimana beliau mengatakan bahwa dengan mengacu pada fakta sejarah, bisa ditemukannya perpaduan antara tradisi dan adat istiadat setempat ke dalam ajaran Islam dengan tetap berpegang pada aturan dan prinsip Islam. Inilah yang membuat beberapa raja tanah jawa masuk Islam.4

Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, dan dari sekitar 240 juta orang Indonesia ada yang beragama Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Meskipun Muslim merupakan mayoritas penduduk, Indonesia bukanlah negara Islam atau sekuler. Secara resmi Indonesia  mengakui enam agama besar dunia: yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, yang semuanya mendapat perlakuan yang sama oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Pemikir Muslim Indonesia Azumardi Azra mengatakan: Para pemimpin dan pendiri Republik Indonesia yang merdeka ini dan di dalam UUD 1945 mengakui multi-agama di negara ini.

Selain enam agama yang disebutkan, Indonesia telah mengakui agama etnis informal minoritas yang masih tinggal di lembah dan hutan, yang dikenal karena arus doktrinalnya, yang ajarannya tidak didasarkan pada sumber agama yang terkenal tetapi dari kepercayaan lokal yang mereka pelajari di hutan melalui pengalaman mereka. Kemajemukan masyarakat dalam agama dapat menjadi sumber kesenjangan sosial yang terkadang menyebabkan konflik, dan oleh karena itu peran pemerintah dalam pengambilan keputusan penting untuk disebarluaskan.

Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia dicapai dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa negara Indonesia didirikan di atas lima prinsip: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah lima prinsip yang disebut dengan Pancasila”, yang merupakan ideologi negara dan landasan bersama dari berbagai segmen rakyat Indonesia. Menurut interpretasi resmi dari prinsip pertama, kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa orang Indonesia bebas untuk mempraktikkan salah satu dari lima agama yang diakui secara resmi. Pasal 29 Konstitusi secara eksplisit menjamin kebebasan beragama. Berkenaan dengan kehidupan beragama, peran Pemerintah terletak pada mempromosikan rasa saling menghormati di antara pengikut agama yang berbeda dan mencapai harmoni di dalam dan di antara agama-agama. Penekanan pada perlunya solidaritas nasional dan sosial telah berkontribusi pada Menciptakan pola berpikir dan tindakan dalam segala aspek kehidupan Indonesia, khususnya dalam kehidupan beragama.5

Selain itu, slogan “keragaman dalam persatuan” adalah kekuatan potensial yang memungkinkan kebebasan bagi umat beragama untuk menerapkan ajaran agama mereka. Oleh karena itu, Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan pada tahun 1978-1984 tentang tiga jenis toleransi: pertama: toleransi dalam masyarakat agama tertentu, kedua: toleransi antara umat beragama, dan ketiga: toleransi antara orang beragama dengan pemerintah6

Referensi

  1. Azumardi Azra, Distinctive Paradigm of Indonesian Islamic Studies; Toward Renaissance of Islamic Civilization, paper disampaikan pada AICIS ke-XIII tanggal 18-21 Nopember tahun 2013 di Hotel Sentosa Senggigi Mataram. ↩︎
  2. [1] قال تعالى: كما قال تعالى:  (أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُّخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ ) سورة فاطر : 27
    Artinya: . Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. (Q.S. Fqtir: 27) ↩︎
  3. [1] قال تعالى:  (وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتْ لِّلْعَالَمِينَ) سورة الروم : 22
    Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Ar Rum: 22) ↩︎
  4. Abdurrahman Mas’ud, (2006), Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana, hlm. 54-58. ↩︎
  5. Learn coexistence in Islam with a smile dalam http://www.oasiscenter.eu/ar/ ↩︎
  6. Tarmizi Taher, Menuju ummatan wasathan Kerukunan Beragama di Indonesia, terj. Jajat Burhanuddin dan Saiful Umam (Ciputat: PPIM IAIN Jakarta, 1998), hal. 19 ↩︎

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *