Opini  

Meniti Jalan Moderasi Global : Trilogi Kerukunan dan Maqasid Al-Ukhuwwah

Foto Kegiatan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Dosen dan Pegawai Di UIN Mataram

Penulis; Apipuddin, LL.M. (Ketua RMB UIN Mataram & Aktivis Lakpesdam PWNU NTB)

Setiap kali bulan Muharram menyapa, umat Islam diajak kembali merenungi nilai-nilai dasar perjuangan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat yang berkeadilan. Hijrah dari Makkah ke Madinah adalah tonggak sejarah peradaban yang tidak hanya bersifat fisik-geografis, tetapi juga konseptual-ideologis. Di dalamnya terkandung nilai revolusioner yakni transformasi dari keterpecahan menuju keutuhan, dari perang menuju kedamaian, dari eksklusivitas menuju inklusivitas, dari tirani menuju tatanan masyarakat madani.

Hijrah hari ini bukan lagi soal berpindah tempat, melainkan berpindah cara berpikir. Dari semangat sektarian menuju semangat ukhuwwah. Hijrah konseptual ini menjadi sangat penting di tengah tantangan kebangsaan dan keumatan yang makin kompleks. Dalam konteks kampus Islam, terutama UIN Mataram, Muharram menjadi momen penting untuk menyegarkan orientasi nilai dan arah gerak tridarma agar lebih responsif terhadap kebutuhan zaman.

Muharram bukan hanya titik awal kalender hijriah, tetapi juga awal dari setiap gerakan pencerahan. Sebagaimana ditegaskan oleh Azyumardi Azra, Islam di Indonesia bukan hanya agama, tetapi kekuatan budaya dan intelektual yang terus-menerus berevolusi untuk menjawab tantangan zaman. Maka, trilogi kerukunan tidak boleh berhenti sebagai narasi tahap awal namun harus ditingkatkan ke Jilid II yang lebih berorientasi pada substansi yakni maqasid al-ukhuwwah.

Trilogi Kerukunan Jilid II: Merangkai Tafsir Sosial ber-Maqasid Al-Ukhuwwah

Trilogi Kerukunan yang digaungkan oleh Kementerian Agama yakni kerukunan antar umat beragama, intra umat beragama, dan antara umat dengan negara, merupakan strategi normatif yang terbukti efektif mengelola harmoni sosial Indonesia. Namun di era disrupsi informasi dan polarisasi identitas ini, trilogi itu perlu ditransformasikan ke arah yang lebih dalam, sebagai instrumen menuju maqasid al-ukhuwwah, sebagai tujuan sosial dari ajaran Islam.

Apa yang disebut Jilid II dari trilogi kerukunan berarti penguatan kualitas relasi sosial. Tidak cukup berhenti pada toleransi pasif, tetapi harus beranjak pada partisipasi aktif, di mana perbedaan dihargai sebagai aset, bukan ancaman. Dalam konteks ini, trilogi kerukunan harus bersinergi dengan Trilogi Ukhuwwah yakni Ukhuwwah Islamiyyah (relasi sosial sesame umat Islam), Ukhuwwah Wathaniyyah (relasi sosial sebangsa dan se-tanah air), dan Ukhuwwah Insaniyyah (relasi sosial sesama umat manusia). Ketiganya adalah pilar etik yang saling menopang dan membentuk jembatan menuju Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, menanamkan nilai bahwa ukhuwwah adalah fondasi utama dalam menegakkan Islam yang beradab, bukan Islam yang hanya kuat dalam hukum, tapi juga lembut dalam laku. Ukhuwwah dalam pandangan Hadratussyekh, bukan hanya ikatan emosional antar individu, melainkan simpul kokoh yang menjalin kekuatan umat, bangsa dan negara dalam kebersamaan yang saling menghargai. Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan, memaknainya sebagai tindakan sosial yang konkret. Bagi beliau, iman bukan sekadar diucapkan, tetapi diwujudkan dalam cinta sosial. Mendirikan sekolah, rumah sakit, dan memajukan kaum miskin sebagai wujud nyata dari ukhuwwah wathaniyyah.

Di pentas dunia, semangat ukhuwwah juga bergema melalui tokoh-tokoh kemanusiaan lintas iman. Malala Yousafzai, gadis muda asal Pakistan yang menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan dan diskriminasi, membuktikan bahwa pendidikan yang mengakar pada nilai-nilai keberagaman adalah senjata paling ampuh melawan ekstremisme dan terorisme. Sedangkan Desmond Tutu, tokoh perdamaian asal Afrika Selatan, mengangkat falsafah Ubuntu “aku adalah karena kita ada”, sebuah ungkapan yang sangat dekat dengan semangat kemanusiaan dan ukhuwwah insaniyyah dalam Islam. Ubuntu bukan hanya filosofi, melainkan napas kolektif yang memandang keberadaan manusia lain sebagai bagian dari eksistensi diri kita. Dalam narasi ini, ukhuwwah tidak lagi mengenal batas agama, bangsa, atau ras. Ukhuwwah adalah jembatan kemanusiaan menuju perdamaian alam semesta.

Maqasid As-Syariah dan Maqasid Al-Ukhuwwah : Menjaga Kemaslahatan dan Persaudaraan

Berbicara maqasid dalam hukum Islam, kita tidak pernah asing dengan istilah maqasid as-syari‘ah sebagai jantung etik hukum Islam. Selama berabad-abad istilah ini dikenal dengan lima prinsip utama yakni menjaga agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl), dan harta (al-mal). Prinsip-prinsip ini telah menjadi fondasi kuat dalam membentuk sistem hukum dan moral umat Islam. Namun, seiring dinamika zaman yang semakin kompleks, dimensi maqasid perlu diperluas. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikan maqasid al-ukhuwwah sebagai arah baru dalam pengembangan syariat Islam. Baik ukhuwwah Islamiyyah, wathaniyyah, maupun insaniyyah, perlu dipandang bukan sekadar nilai moral individual, melainkan sebagai tujuan sosial kolektif dari syariat itu sendiri.

Maqasid al-ukhuwwah merekonstruksi cara pandang kita terhadap syariat Islam dari pendekatan legalistik ke pendekatan humanistik. Hukum Islam tidak lagi cukup diposisikan sebagai alat pengendali perilaku, tetapi harus dihadirkan sebagai sarana rekonsiliasi sosial, penyembuh luka- luka karena perbedaan, perbaikan kehancuran akibat perang dan pengikat persaudaraan antar manusia. Ukhuwwah, dalam hal ini, menjadi jembatan menuju masyarakat berkeadaban yang inklusif dan kolaboratif. Ia menuntut partisipasi aktif semua pihak, mulai dari akademisi hingga pelaku kebijakan, untuk menjadikan Islam bukan hanya norma, tapi juga menjadi nilai moral yang menumbuhkan kasih dan saying terhadap manusia.

Dalam konteks pendidikan tinggi Islam, terutama di UIN Mataram, maqasid al-ukhuwwah dapat diimplementasikan sebagai basis filosofi kampus. Kurikulum tidak lagi hanya mengajarkan kognisi keagamaan, tetapi juga membentuk karakter welas asih (Jawa) atau saling sedok (Sasak) dan tanggung jawab kemanusiaan. Relasi antar mahasiswa, dosen, dan sivitas akademika perlu dibangun dalam semangat mutual respect, yang menghidupkan etika ukhuwwah. Sejalan dengan konteks ini Muhammad Naquib al-Attas memaknai pendidikan sebagai proses ta’dib yakni proses pembentukan adab. Artinya, manusia yang berilmu bukan hanya mereka yang cerdas secara logika, tetapi juga matang dalam empati dan kepedulian serta adil dan seimbang dalam membangun relasi. Maka, kampus tak sekadar menjadi tempat belajar teori, tetapi berkembang sebagai ruang hidup yang memancarkan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam yang hadir, menyapa, dan merangkul semua.

Dalam semangat inilah, gagasan kurikulum cinta yang digagas Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nazaruddin Umar, MA menjadi sangat relevan. Pendidikan bukan hanya soal penguasaan materi, tapi juga pengasahan hati untuk kepedulian dan kepekaan sosial. Kampus-kampus PTKI memiliki keistimewaan untuk menjadi kampus yang me-refresh diri dengan basis maqasid al-ukhuwwah, yang menjadikan cinta, kasih sayang, saling menghormati, kepedulian dan keberpihakan kepada yang lemah sebagai identitas tradisi akademik. Di kampus, ajaran Islam bukan sekadar menjadi wacana intelektual yang dipahami oleh akal, melainkan menjadi etos kehidupan yang dihayati dalam laku, dalam kasih yang membebaskan, dalam keadilan yang menyetarakan dan menguatkan nilai kemanusiaan universal. Dari ruang-ruang akademik yang teduh inilah, kontribusi nyata bagi perdamaian dunia diharapkan dapat tumbuh, menjawab jeritan kemanusiaan di tengah gejolak konflik dan perang diberbagai belahan bumi yang kita huni.

Globalisasi Nilai dari Kampus Moderat

Internasionalisasi pendidikan tinggi Islam hari ini tidak bisa sekadar diukur dari banyaknya nota kesepahaman (MoU), banyaknya conference dan pertukaran mahasiswa. Esensi internasionalisasi sejati justru terletak pada bagaimana nilai-nilai luhur Islam, terutama ukhuwwah dan moderasi ditransformasikan menjadi kekuatan global yang hidup dan diterima lintas batas. Dalam konteks ini, Trilogi Kerukunan Jilid II dan maqasid al-Ukhuwwah menjadi soft power akademik yang strategis untuk ditawarkan kepada dunia. UIN Mataram, misalnya, memiliki warisan budaya lokal Sasambo (Sasak, Samawa, Mbojo) yang kaya akan nilai-nilai moderasi beragama, senafas dengan semangat Islam wasathiyah. Warisan budaya tersebut dapat diangkat sebagai model internasionalisasi berbasis nilai. Begitu pula dengan PTKI lainnya di berbagai daerah, yang masing-masing memiliki kekhasan kultural dan potensi lokal yang unik, sejatinya mampu mengembangkan maqasid al- ukhuwwah sebagai fondasi internasionalisasi yang membumi, membebaskan, dan membangun peradaban perdamaian.

Proses internasionalisasi nilai ini menjadi semakin penting di tengah dunia yang diwarnai oleh konflik identitas, terorisme, perang, dan krisis kemanusiaan. Pendidikan tinggi Islam perlu memainkan peran sebagai mercusuar membangun nalar kritis, empati sosial, dan kepekaan global. Paulo Freire pernah menyatakan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah yang menumbuhkan kesadaran kritis. Hal ini senada dengan pemikiran Tariq Ramadan, cendekiawan Muslim asal Swiss, yang menekankan bahwa Islam masa depan harus tampil sebagai kekuatan etis dalam menjawab tantangan global seperti kemiskinan, ketidakadilan gender, hingga lingkungan hidup. Maka, PTKI perlu hadir tidak hanya sebagai institusi akademik, tetapi sebagai penyambung suara Islam yang moderat dan ukhuwwah.

Untuk itu, transformasi kampus menuju institusi moderat dan ukhuwwah harus di refresh bukan hanya dalam visi, tetapi juga dalam sistem. Moderasi dan ukhuwwah perlu dimainstreaming dalam seluruh kebijakan kelembagaan. Mulai dari rekrutmen dosen yang inklusif, penyusunan kurikulum cinta yang integratif, hingga layanan publik yang mencerminkan nilai keadilan sosial. Maka, tridarma di sini bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi menjadi arena nyata pelaksanaan maqasid al-ukhuwwah yakni pendidikan yang menanamkan kasih sayang, riset yang memihak pada kemanusiaan, serta pengabdian masyarakat yang menjangkau mereka yang terpinggirkan.

PTKI dapat menjadi pelopor dalam membangun sistem kampus yang mampu memediasi konflik, memperkuat budaya dialog lintas identitas, serta menjadi ruang aman (safe space) bagi semua warga akademik. Inilah manifestasi konkret dari sabda Nabi SAW: “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Dalam perspektif maqasid al-ukhuwwah, hadis ini tidak semata-mata menjadi pedoman spiritual individual, melainkan juga pijakan moral sosial yang mendorong institusi kampus menghujamkan nilai cinta dalam aktivitas tri dharma.

Oleh karena itu, momentum Tahun Baru Islam 1447 H bukan sekadar pergantian kalender, tetapi panggilan untuk melakukan hijrah intelektual, sosial, dan spiritual secara kolektif. Dari ruang- ruang akademik yang transformatif inilah diplomasi akademik untuk moderasi global dapat bermula. Sebuah diplomasi yang tidak bersifat simbolik, tetapi bersumber dari keyakinan bahwa Islam ketika dihayati sebagai rahmah mampu menjawab tantangan global dan menjadi jalan menuju tatanan dunia yang lebih damai dan adil. Maka, PTKI ditantang bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan mahasiswa dan mencetak sarjana, tetapi juga menebar rahmah sebagai misi peradaban dan perdamaian. Trilogi Kerukunan Jilid II dan Maqasid al-Ukhuwwah ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling menopang dalam membangun masyarakat Islam yang beradab, terbuka, dan inklusif. Maka hijrah hari ini adalah hijrah dari retorika menuju etika, dari slogan menuju sistem, dari eksklusivisme menuju partisipasi yang inklusiv kolaboratif.

SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1447 H.

“MARI !! MENJAHIT UKHUWWAH SEBAGAI WARISAN BAGI GENERASI SESUDAH”