Tahun baru : semangat baru ataukah baru semangat?, itulah salah satu pertanyaan penting untuk kita jawab dalam kerangka menguji apakah semangat baik yang kita tanam pada awal tahun sebelumnya sudah berbuah pada tahun ini, jika belum maka kesempatan itu datang kembali. Tahun baru Islam, tidak boleh dirayakan dalam ruang kosong hampa makna, momentum ini haruslah menjadi saat yang tepat untuk “muhasabah”(evaluasi diri) setidak tidaknya dari 11 bulan sebelumnya. Melakukan hal-hal yang terukur, dan konsiten serta berdampak setidak-tidaknya bagi diri kita sendiri. Ahabbu A’mali ilallahi adwamuha wa in qola (kebaikan yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan meski sedikit-HR Muslim). Cita -cita besar menghendaki energi dan semangat serta “keistiqomahan” (konsistensi) yang besar pula, dan tak semua orang dapat melakukannya, perbaikan yang sporadis dan masiv seringkali tidak “Continuous” (berlanjut), terkendala berbagi hal yang justru lebih banyak datang dari dalam diri kita sendiri. Faktor ketahanan batin untuk menuntaskan perbaikan itu sendiri adalah penyebab utama terbesar disamping faktor external yang tak terduga dan tidak bisa kita hindari. Orang Sasak, dengan Islam sebagai agama mayoritasnya, mewariskan kearifan budaya dalam menyongsong tahun baru islam, setiap Muharram tiba, muslim Sasak tidak hanya mengisinya dengan pengajian, zikiran dan do’a bersama namun bagaimana membawa kesalehan religiusitas tersebut hidup dan menjelma menjadi kesalehan sosial, salah satunya dengan memaknai Kembali “pengarek-arek” (peninggalan leluhur sasak) berupa folklore (tradisi lisan) dan memaksimalkan kearifan tersebut sebagai pembangun kohesi sosial, sehingga tahun baru Islam benar-benar melahirkan semangat hidup baru bagi orang Sasak serta berdampak baik bagi sebanyak-banyaknya orang lain “Khoirunnas Anfa’uhum Linnas: (Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak keamanfaatannya untuk orang lain-HR Ath-Thabari).
Persfektif Bahasa
Kerangka konseptual yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami fenomena bahasa, termasuk struktur, fungsi, dan perolehan bahasa, merupakan teori bahasa yang dapat membantu menjelaskan bagaimana bahasa dipelajari, digunakan, dan berinteraksi dengan faktor-faktor lain seperti kognisi, budaya, dan masyarakatnya. Fenomena bahasa Sasak, sebagai bahasa asli suku Sasak Lombok yang mewariskan kelengkapan piranti kehidupan, tercermin dalam ragam budaya bahasa yang menjadi media komunikasi antar sesama mereka. Salah satunya dapat dijumpai melalui berkembangnya Folklor (tradisi lisan) serta menjadi prilaku Kolektifa Sasak, tersebar, terwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun dalam bentuk lainnya, yang cukup kaya. Salah satu cerminan lelaku hidup Sasak yang sangat akrab di lisan sesama Sasak dan familiar di telinga banyak orang adalah kata : “semaik”, “semaik-maik” dan “maik” Dengan penyederhanaan makna secara berurutan : pas, cukup, dan enak.
Persfektif Sandang
Kebutuhan sandang dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer utama manusia. Kebutuhan akan pakaian yang diperlukan tidak hanya untuk melindungi tubuh dan beradaptasi dengan lingkungan, namun lebih daripada itu, ia berkaitan dengan normatifitas religius dan keyakinan seseorang, tak terkecuali orang Sasak. Suku dengan mayoritas beragama Islam ini, tentunya sangat memahami makna “aurat” yang menjadi batasan “syar’i” dalam mengenakan pakaian. Maka esensi “semaik” yang paling dasar adalah batasan berpakaian Sasak Islam. Pakaian juga cerminan karakter dan budaya orang Sasak maka dia harus dikenakan secara “semaik” yaitu padu padan sesuai dengan pakem dan kekhasan pakaian adat Sasak, lalu “semaik” sebagian tercermin dari caranya berpakaian, yang menjadi identitas budaya orang Sasak itu sendiri. dipaBerpakaian adat tidak sama dengan pakaian harian lainnya maka harus “semaik-maik” dalam arti tidak boleh setiap saat dan pada semua kesempatan dan dengan cara serampangan dipakai, sehingga pakaian tersebut menjadi ber “marwah” dan “maik” enak dikenakan, indah dilihat dan syarat akan makna.
Kepantasan orang Sasak dalam berpakaian menganut ketepatan “size” (ukuran) yaitu proposionalitas antara pemakai pakaian dengan pakainnya, termasuk di dalamnya seluruh yang dikenakan dari kepala hingga kaki, tidak boleh “bket” (terlalu sempit) juga tidak boleh “rorok” (terlalu longgar), proporsionalitas ini disebut dengan “semaik” dalam arti ketepatan ukuran, begitu juga ketika menyandang/mengenakan peci antara hitam dan putih misalnya. Peci Putih secara tradisi tidak boleh dipakai semua orang, ia adalah lambang “gengsi” pernah menunaikan haji, ketika seseorang bertanya kenapa dia mengenakan peci putih, maka saudara lainnya akan menjawab dia telah haji, maka orang yang bertanya tadi akan menegaskan jawaban sendiri dengan berujar ‘”semaik” yang mencerminkan kepantasan kultural religius pemakainya.
Persfektif Pangan
Kebutuhan asasi berikutnya dari manusia adalah terpenuhinya asupan yang bersumber dari makanan, bagi orang Sasak, memandang makanan tidak hanya dilihat sekedar pengisi perut belaka, namun ia harus tepat dari sisi “teste” (rasa), bagaimana racikan dan seberapa bumbunya, seberapa pedas cabenya, sebera asin garamnya seberapa banyak takaran airnya, seberapa lama dimasaknya dan lain sebagainya, bila memenuhi selera tertentu maka orang Sasak lazimnya menyebutnya dengan kata “semaik” yang mewakili ekspresi terhadap ketepatan racikan tersebut.
Berikutnya adalah porsi makanan, sesuai dengan kebutuhan orang yang menikmatinya, bila seseorang terbiasa makan dengan porsi banyak yang diakibatkan karena mungkin memiliki ukuran badan yang lebih besar atau terbiasa dalam porsi makan “mukbang” (makan besar/banyak), atau mungkin makan dalam porsi sedang hingga sedikit, maka ukuran makan tersebut haruslah “semaik” dalam makna yang lebih subyektif sesuai dengan kebutuhan individu masing-masing. Termasuk bila ada tawaran untuk menambah makanan dan minuman, maka jika sudah dianggap cukup, ekspresi orang Sasak yang ditawarkan mengucapkan “semaik” sebagai tanda sudah cukup kenyang.
Dalam beberapa kasus tertentu orang yang mengatakan “semaik“ ketika ditawarkan seringkali berkaitan dengan rasa malu atau gengsi, maka orang Sasak akan mengekspresikan penolakannya dengan mengatakan “semaik” sekedar sebagai sopan santun, walaupun kadang sebenarnya mereka ingin menambah makanan dan minuman, maka tak jarang setelah tawaran tersebut ditolak, mereka Kembali makan di rumahnya atau sekedar mampir membeli bakso di jalanan.
Berikutnya orang Sasak juga mempunyai kepekaan tersendiri dalam kaitannya dengan makanan, bila makanan tersebut akan mendatangkan kemudaratan dari sisi Kesehatan baik karna jenis, kadar maupun kandungannya, maka orang Sasak akan membatasi dirinya dengan kata “semaik-maik” yang berarti “Secukupnya” dengan tujuan menghindari segala kemungkinan kemudaratan tersebut. Jika seluruh pertimbangan di atas terpenuhi maka makanan yang dinikmat mencukupi syarat untuk dikatakan “maik” atau dalam dialek Sasak “meriak-meriku” disebut “meres” (nikmat dan lezat).
Persfektif Papan
Kebutuhan akan tempat tinggal atau hunian yang melindungi manusia dari berbagai cuaca dan bahaya, juga merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, kelangsungan hidup mereka dengan anak keturunannya, membina rumah tangga dan tempat mendidik anak, membangun asa dan sebagainya. Walapun ada manusia yang nomaden (hidup berpindah-pindah) namun secara kodrati manusia selalu rindu pulang, Kembali ke rumah tempat tinggalnya. Orang Sasak termasuk dalam rumpun suku yang selalu merindukan balik ke kampung halaman dan balik ke rumah tempat tinggalnya. Karena pentingnya papan dalam kehidupan orang Sasak maka ukuran tempat tinggal harus “semaik” cukup menampung jumlah anggota keluarga, tentuanya ini adalah sesuatu yang ideal bagi orang Sasak yang mempunyai kemampuan. Orang Sasak yang kurang mampu dan tak berdaya membangun tempat rumah memadai dengan jumlah anggota keluarganya mengilustrasikan rumah kecil yang mereka tinggali dengan “bale marak kecopok” (rumah seperti kotak plastik). Tentu ini ekspresi dari sikap “ndekman semaik” (belum memadai).
Kemampuan dalam mendirikan rumah juga berkaitan dengan kadar kemampuan pemiliknya, bila biayanya memadai maka dana dianggap “semaik” cukup untuk membangunnya, bila memaksakan diri dengan biaya yang ada namun dengan keinginan rumah yang besar maka orang Sasak mengekspresikan biaya mereka dengan kalimat “ndek semaik” (tidak mencukupi). Lebih jauh daripada itu saat konstruksi rumah, orang Sasak selalu memperhatikan kekokohan, dengan memastikan kedalaman pondasi, tiang pancang, cakar ayam dengan kedalaman yang harus “semaik” untuk menjamin kekuatan termasuk pada ketepatan, kelurusan, keterkaitannya dengan satu elemen dengan elemen lainnya, semuanya harus “semaik” dalam makna yag tepat dan bersinergis.
Persfektif Logika
Logika disini bertalian dengan budaya secara individu dan sosial, menafsirkan semesta dan membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip logika. Sasak, sudah pasti daya nalarnya dipengaruhi oleh konteks budaya Sasak itu sendiri, Ini berarti bahwa apa yang dianggap “masuk akal” atau “logis” dapat bervariasi antar budaya karena perbedaan nilai, kepercayaan, dan pengalaman yang membentuk cara berpikir suatu kelompok. Contoh sederhana dari sikap hidup Sasak yang logis adalah bekerja. Bekerja bagi orang Sasak bukan hanya kewajiban untuk yang sudah sampai usia dan pase tertentu dengan “skill” (Keterampilan) yang dimilikinya, bekerja adalah panggilan kebutuhan mencari nafkah, bekerja adalah solusi penyelesaian masalah, mencari rasa aman, dan wahana aktualisasikan diri. Namun bekerja yang baik menurut orang Sasak adalah bekerja dengan senantiasa memperhatikan proporsinya baik waktu maupun kadar kesulitan berat ringannya. dari sisi kemampuan tenaga harus “semaik” artinya antara kemampuan pekerja dan pekerjaannya, durasi waktu harus “semaik-semaik“ dalam makna yang tidak memaksakan diri, begitu juga harus “maik” dimana sang pekerja menikmati pekerjaan dan hasilnya.
Pesfektif Etika
Ugame bteken, betakaq lan betatah adat, ini adalah filosofi etis orang Sasak dimana mereka beranggapan bahwa agama Islam sebagai agama mayoritas suku Sasak Lombok ini ditopang, diwadahi dan dihiasi oleh ajaran agama. Perilaku baik orang Sasak juga diukur dengan seberapa taat dia beragama dan menjalankan nilai agama serta menjunjung tinggi etika dan adat istiadat. Dalam ekspresi sosial orang Sasak menjunjung tinggi sikap moderasi yang tercermin dalam kata “semaik-maik” yang lebih dekat maknanya dengan secukupnya, sikap jujur, lurus, dan senantiasa menjadi tauladan adalah sikap yang “maik” enak dilihat dan dirasakan. Jika mencinta, menghormati, hingga membenci orang maka lakukan dengan “semaik-maik” dalam teks suci Al-Qur’an dikatakan “janganlah Kebencianmu terhadap sesuatu kaum membuat kamu tidak adil” orang Sasak menghindari sikap hidup berlebih-lebihan karena mereka menyadari titah nabinya“Khoirul umuri aushatuha” (sebaik-baik sesuatu adalah yang pertengahan), Yang sedang-sedang saja (yang ditegaskan dalam baris dari sebuah lagu).
Sikap proporsionalitas ini pula yang melambari orang Sasak untuk tidak terlampau ambisius dalam mengejar sesuatu, agar tidak potensial melanggar moral dengan menghalalkan segala cara atau bahkan terlau pasif sehingga pasrah terhadap sesuatu. Harus “semaik-maik” yaitu menempatkan sesuatu secara etik pada tempatnya, memberikan seseorang apresiasi dengan kata “ semaik” bahwa anda telah mengerjakannya secara tepat baik waktu maupun hasil, sehingga ia layak mendapatkan upah atau jasa terhadap pekerjaannya dengan mencerminkan asas kepantasan dalam takaran yang “semaik-maik” (pas jumlah).
Aspek etis kegamaan dan kebudayaan adalah bagian penting dalam kehidupan orang Sasak, menjadi orang Sasak adalah menjadi orang yang beragama sekaligus berbudaya, ibarat dua sisi sekeping mata uang yang tidak bisa dipisah satu sama lain, semangat religiusitas orang Sasak berlangsung dalam ruang yang proporsional dan profesional, misalnya dalam memilih imam sholat, khotib, penghulu, selalu harus memenuhi kriteria “semaik” mencukupi syarat kecapakapan dan kematangan tertentu, dan bila yang dipilih ini melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai ekspektasi, maka orang Sasak memberi apresiasi dengan kata “semaik” yang berarti pantaslah ia mengemban tugas tersebut. Banyak kejadian yang memperihatinkan misalnya yang cukup viral, seperti kasus “walid” dan justru pada ruang pendidikan termasuk di dalamnya bidang pendidikan islam bahkan pesantren, hal ini karena belum sepenuhnya menganut prinsip-prinsip ”semaik” yang berarti bersandingnya kemampua dan kematangan, namun hanya memandang dari sisi ke”’aliman” (berilmu) dan kemampuan agama namun nir ke”’arifan” (bijaksana) dan kematangan.
Begitu pula dengan etika politik dan kepemimpinan, betapun kerasnya persaingan karena masing-masing pihak larut dalam kepentingannya masing-masing, namun bila prinsip “semaik, semaik-maik,” itu menjadi bagain dari cara mempertimbangkan keputusan dalam arus deras persaingan tersebut, masih ada harapan untuk tetap menjaga kemaslahatan yang lebih besar yaitu persaudaraan dan kemaslahatan “public” yang lebih besar. Inilah sikap “maik” enak, indah nan meneduhkan dari seorang calon pemimpin yang kelak akan memangku Amanah kepemimpinannya. Kullukum ro’in wa kullukum masulun an roiyatih” karna setiap pemimpin akan dimintai pertanggungan jawab dari kepemimpinannya dunia akherat.
Persfektif Estetika
Wacana mayor yang sedang hangat diperbincangkan oleh semua orang, terlebih orang Sasak saat ini adalah batasan kreatifitas berkesenian, tidak hanya karena fenomena musik “kecimol” yang sering diplesetkan dengan “kelalah cikar montor liwat” (susah kendaraan lewat) dengan berbagai perilaku oknum yang membawanya keluar dari esensi “rasa estetika” Sasak itu sendiri, namun juga perilaku berkesenian lainnya. Hal ini tidak bisa dilihat dengan kacamata kuda membenarkan dan menyalahkan secara subyektif, melainkan harus konfrehensif dengan penyelesaian yang holistik. Terutama apakah semua ini berkaitan dengan ekonomi dan industri, adanya deman dan supply, (permintaan dan pasokan), ataukah gaya hidup “hedon” telah menular kepada masyarakat kita. Meminjam kata Bung Karno “orang lapar tidak bisa segera kenyang hanya karena diberikan kitab konstitusi” Kalau saja persfektif kesenian dibingkai dalam kearifan “semaik dan semaik-maik” pastilah akan elok akan “maik” (enak dirasa, dilihat dan dinikmati) sehingga kreatifitas berkesenian tetap berjalan dan kebudayaan tetap terpelihara.
Interaksi dan hubungan antar individu orang Sasak dalam suatu kelompok atau masyarakat, serta bagaimana mereka berinteraksi dan membentuk pola hubungan yang lahir dari pengaruh budaya yang ada mengandung nilai estetika yang sangat berharga nilainya. Keindahan hidup bersama berkomunikasi, serta berinteraksi yang membentuk dinamika sosial yang tampak “maik” enak dirasakan. Prinsip gotong-royong, bekerjasama, ringan sama dijijing berat sama dipikul adalah sesuatu yang berakar kuat di suku Sasak Lombok. Penerapannya dalam gawe “urip” (acara kehidupan) dan gawe “pati” (acara kematian) harus mengandung prisnsip -prinsip “Semaik” dalam makna kepantasan dan kemampuan dalam kerangka melahirkan sinergisitas keindahan hidup dan kehidupan.
Keindahan pengabdian sosial tidak boleh tercedrai dengan mengorbankan kewajiban pribadi, kepedulian membantu orang lain harus berdasarkan kemampuan yang ada dan harus “semaik-maik” harus seimbang. Begitu juga dalam silaturrahmi mengunjungi sesama, niat baik ini harus berdialektika dengan waktu misalnya bertamu tidak boleh pada jam-jam istirahat atau melebihi waktu ideal apalagi hingga larut malam hal ini “ndek maik” tidak elok untuk dilihat. Termasuk mengunjungi sang kekasih atau “midang” sampai tak mengenal waktu, atau membawa anak gadis orang (sang kekasih) keluar rumah, bila melebihi waktu ideal dapat melahirkan sanksi sosial kultural yang sangat serius seperti dinikahkan dan lain-lain. Begitu juga dengan do’a kematian, doa bersama secara umum akan berlangsung hingga “nyiwak” (malam ke 9) tidak sampai 10, 11 dst. Kemudian akan berlompat Kembali ke “metangdase’ (malam ke 40) lalu lompat kembali ke ”nyatus” (malam ke 100) jarak-jarak ini dimaksudkan agar tidak membebani diri, keluarga dan tetangga sehingga estetika sosial tetaplah melahirkan rasa “maik” ringan, indah, mesra yang enak dirasa bersama.
Keseimbangan dan konvergensi antara kelengkapan sandang (pakaian), pangan (makanan) serta papan (tempat tinggal) yang dibingkai dengan logika (akal sehat), etika (kebajikan) serta estetika (keindahan) hidup orang Sasak menyemai cara hidup moderat, wajar, dengan prinsip “wasatiyah” (pertengahan) melahirkan rasa toleransi tinggi, sikap gotong-royong melahirkan kemakmuran dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran dengan bersumber dari nilai “genuine” (asli) kultural orang sasak yaitu : “semaik” yang memantik mental qonaah (kecukupan), dengan cara “semaik-maik” yang disemangati mental “Basaathoh” (Kebersahajaan), semoga momentum muharram dapat membawa kita, menyelami samudera kearifan lokal menemukan mutiara “qurrota A’yun” (Penyejuk mata) yang “maik tegitak” (indah dilihat) menuju “lazzaatul hayyah” (indahnya hidup bersama) yang didambakan.semoga…