Penulis : Gemuh Surya Wahyudi
Pergeseran teknologi dari teknologi analog ke teknologi digital memberikan banyak kemudahan bagi para penggunanya. Perubahan-perubahan yang sangat signifikan juga sangat terasa dari pergeseran teknologi ini. Banyak aktivitas keseharian yang sebelumnya dilakukan secara manual bisa dilakukan dengan cara yang instan dengan adanya teknologi digital. Teknologi digital dapat dengan mudah menjamah ke setiap sisi kehidupan manusia, mulai dari manusia itu terbangun di pagi buta sampai tertidur lagi di malam hari, teknologi digital tetap membersamainya.
Namun, dari kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi digital, jika kita tidak memiliki pertahanan atau benteng yang kokoh maka laju derasnya isu yang berkembang di teknologi digital dapat menyeret kita. Contohnya adalah kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dalam ruang digital. Ruang digital yang merupakan dunia tak terbatas memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk menjadi komunikator. Setiap orang bebas berpendapat dalam ruang digital. Ruang digital pun menjadi public spare baru untuk bertarung ideologi. Termasuk juga di dalamnya pertarungan antara ideologi moderasi beragama dan radikalisme.
Baca Juga : Halal Value Chain: Pondasi Kuat Membangun Daerah
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dalam ruang digital memudahkan para aktor radikalisme untuk menyebarluaskan fahamnya. Dikutip dari laman Kementerian Komunikasi dan Informasi, organisasi teror besar di dunia, yakni ISIS menyebarkan faham-fahamnya melalui ruang digital. Platform yang digunakan oleh ISIS adalah Facebook. Pesan-pesan yang bermuatan radikal yang disampaikan melalu media sosial Facebook tersebut ditujukan untuk anak muda, dengan harapan anak muda merupakan generasi yang militan. Selain itu, dikutip dari laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPT). Di tengah pandemi Covid-19 ini, lembaga anti teror tersebut meminta masyarakat untuk mewaspadai penyebaran faham radikalisme di internet. Hal itu terjadi karena mobilitas di tengah pandemi dibatasi maka aktivitas di dunia maya berlangsung dengan sangat masif, termasuk juga di dalamnya aktivitas penyebaran faham radikalisme.
Fenomena ini jika tidak ditangani dengan serius akan menjadi ancaman besar terhadap keutuhan NKRI. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi para aktor moderasi beragama, termasuk juga di dalamnya akademisi, mahasiswa, para pemangku kebijakan dan masyarakat pada umumnya. Karena ini merupakan masalah serius bagi keutuhan NKRI, maka seluruh elemen masyarakat juga harus bahu membahu untuk menangani permasalahan ini.
Diagram Fishbone sebagai Pisau Analisis
Pemanfaatan ruang digital yang dilakukan oleh para aktor radikalisme untuk melancarkan segala aktivitas mereka adalah karena ruang digital dianggap sebagai arena pertarungan ideologi yang bebas. Sifat dari ruang digital yang serba cepat menjadi alasan bagi para aktor radikalisme untuk meanfaatkannya sebagai alat propaganda. Namun, berdasarkan asumsi awal penulis, alasan tersebut bukan menjadi satu-satunya alasan. Untuk menguji hal tersebut penulis menggunakan diagram fishbone sebagai pisau analisis untuk membedah fenomena ini.
Baca Juga : Harmonisasi Dalam Keberagaman: SMAK Kesuma Mataram Dan RMB UIN Mataram Berkolaborasi Dalam Mewujudkan Moderasi Beragama Melalui MPLS Berbasis Moderasi Multi Cultur School
Diagram Fishborn dikenal juga dengan diagram tulang ikan. Diagram fishbone merupakan satu pendekatan yang berprinsip untuk memahami berbagai macam persoalan dengan cara mematakan (mind mapping) isu-isu terkait. Diagram Fishbone juga sering disebut sebagai Cause-and-Effect diagram karena menekankan kepada kausalitas atau sebab-akibat. Berdasarkan kacamata Tague (dalam modul pelatihan ASN, 2019), Diagram fishbone berusaha untuk mengidenifikasi dan menganalisis penyebab potensial dari satu isu atau masalah. Isu atau masalah yang dapat diidentifikasi dengan pendekatan diagram fishbone memiliki beberapa kategori yang bersangkutan dengan manusia, material, mesin, prosedur, dan kebijakan. Dalam fenomena radikalisme di ruang digital ini menyangkut manusia sebagai pelaku dan audiens, serta mesin sebagai alat untuk melancarkan aksi pelaku (aktor radikalisme) dalam menyampaikan pesan propaganda kepada audiens (masyarakat).
Penerapan diagram fishbone untuk menganalisis fenomena ini memiliki beberapa prosedur. Pertama, Menyepakati Pernyataan Masalah. Pada tahap ini setelah penulis bersepakat dengan dua kolega untuk menentukan permasalahan pokok dari fenomena ini. Kesepakatan tersebut bermuara pada “bahaya radikalisme di ruang digital”, muara dari kesepakatan ini nanti akan menjadi akibat dari fenomen yang dibedah menggunakan diagram fishbone.
Rektor UIN Mataram Prof. Dr. H. Masnun, M.Ag; Mendukung Moderasi Beragama Jadi Wacana Intelektual di Kampus
Kedua, Mengidentifikasi Kategori-kategori. Setelah menyepakati satu permasalahan kemudian penulis berusaha untuk menemukan penyebab utama dari akar permasalahan yang telah disepakati pada tahap awal. Setelah penulis melakukan brainstorming dan mengorganisasikan penyebab-penyebab dari akar permasalahan dengan prinsip diagram fishbone, maka penulis mengkerucutkan ke dalam beberapa sebab, di antaranya adalah ruang digital merupakan public sphere baru untuk bertarung gagasan. Para aktor radikalisme memanfaatkan ruang digital untuk menyampaikan pesan-pesan propagandanya, selain itu pemilihan ruang digital juga beralasan cepatnya feedback yang didapat, karena sifat dari ruang digital yang sangat interaktif. Penyebab selanjutnya yang ditetapkan oleh penulis adalah murahnya penggunaan ruang digital dibandingkan dengan berintraksi secara langsung, para aktor radikalisme memanfaatkan ruang digital selain cepat, ruang digital juga murah. Dogma-dogma radikal yang ingin ditebar tidak perlu disampaikan secara langsung dalam forum-forum offline tetapi para aktor radikal bisa menyampaikannya di forum-forum online. Penyebab selanjutnya adalah masih lemahnya polisi cyber, khususnya di Indonesia. Pemanfaat ruang digital oleh aktor-aktor radikalisme disebabkan salah satunya karena lemahnya polisi cyber di Indonesia. Hal ini terjadi karena mudahnya mengakses situs-situs radikal yang sudah terblokir, dengan cara alternatif seperti penelusuran menggunakan Web Proxy dan Virtual Private Network (VPN).
Berdasarkan analisis fishbone diagram terkait dengan fenomena radikalisme di ruang digital, maka dapat dikerucutkan bahwa penyebab aktor-aktor radikalisme menggunakan ruang digital untuk menebar propaganda karena sifat ruang digital yang interaktif, murah dan masih lemahnya polisi cyber. Tentunya penyebab-penyebab ini akan berakibat kepada bahayanya radikalisme di ruang digital. Sebagai aktor dari moderasi beragama, kita memiliki pekerjaan rumah yang sangat mendesak dari fenomena ini. Ada beberapa hal yang ditawarkan oleh penulis sebagai upaya ikhtiar kita untung melawan dan memenangkan ragam narasi radikalisme di ruang digital, di antaranya adalah 1) mengkampanyekan secara masif prinsip-prinsip moderasi beragama dengan berorientasi kepada perubahan sikap, prilaku dan pandangan publik. 2) Pesan moderasi beragama yang disampaikan di ruang digital harus berdasarkan data dan fakta serta bersifat informatif dan persuasif. 3) Meningkatkan literasi digital sebagai benteng kokoh untuk menangkal bahaya radikalisme di ruang digital.
Kesimpulan
Ruang digital yang terbuka untuk siapapun menjadikannya public sphere baru untuk bertarung gagasan dan ide. Termasuk juga di dalamnya pertarungan ideologi antara moderasi beragama dan radikalisme. Para aktor radikalisme memanfaatkan ruang digital untuk menyebarkan faham-faham radikal dan melebarkan sayapnya karena sifat dari ruang digitial yang interaktif, mudah dan masih lemahnya polisi cyber. Fenomena ini merupakan pekerjaan rumah yang serius jika tidak tangani serius oleh aktor-aktor moderasi beragama. Maka dari itu, penulis merekomendasikan beberapa langkah untuk melawan narasi-narasi radikalisme tersebut, di antaranya adalah 1) mengkampanyekan secara masif prinsip-prinsip moderasi beragama dengan berorientasi kepada perubahan sikap, prilaku dan pandangan publik. 2) Pesan moderasi beragama yang disampaikan di ruang digital harus berdasarkan data dan fakta serta bersifat informatif dan persuasif. 3) Meningkatkan literasi digital sebagai benteng kokoh untuk menangkal bahaya radikalisme di ruang digital.