Chat GPT, Kecerdasan Buatan Menjawab Semua Masalah

Baru-baru ini, ada sebuah aplikasi robot percakapan yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan bernama ChatGPT yang sedang menjadi perhatian dunia. Aplikasi ini mengejutkan banyak orang karena kemampuannya yang luar biasa, yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh banyak orang. ChatGPT bahkan mampu berperan sebagai hakim dalam persidangan dan mengeluarkan putusan yang sesuai dengan ilmu hukum. Selain itu, aplikasi ini juga sangat mahir dalam menulis buku-buku best seller, bahkan dapat membantu murid-murid sekolah menyelesaikan pekerjaan rumah mereka yang sulit. Potensi yang besar ini menarik perhatian perusahaan teknologi besar untuk mengembangkan ChatGPT menjadi the next big thing. Mereka bersaing untuk menjadi yang paling siap dan adaptif dalam mengembangkan aplikasi ini.

Foto : Open AI

Sebagai model bahasa besar yang dilatih oleh OpenAI, ChatGPT memiliki potensi yang sangat besar untuk mengubah cara kita berinteraksi dengan teknologi dan satu sama lain. Aplikasi ini memiliki kemampuan untuk memproses dan memahami bahasa manusia dengan sangat baik, bahkan lebih baik daripada manusia dalam beberapa kasus tertentu. Hal ini membuka banyak kemungkinan untuk pemanfaatan ChatGPT di berbagai bidang, seperti pendidikan, hukum, dan bisnis.

Namun, seperti teknologi lainnya, ChatGPT juga memiliki beberapa kekhawatiran yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah risiko terhadap privasi data. Karena ChatGPT didasarkan pada teknologi AI yang mempelajari pola dan kebiasaan pengguna, ada potensi untuk mengumpulkan informasi pribadi yang dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang ketat untuk melindungi privasi data pengguna.

Dalam kesimpulannya, meskipun ChatGPT memiliki potensi yang sangat besar, kita perlu mempertimbangkan dampak dan risiko dari penggunaannya. Kita harus mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab, dan tidak merugikan pengguna atau masyarakat secara keseluruhan. -ADS

DARI SAMURAI MUSASHI, KITA BELAJAR MENGENALI DIRI

Oleh: Ahmad Inung

Miyamoto Musashi adalah salah satu samurai terhebat dalam sejarah Jepang pramodern. Kehebatannya dalam seni bela diri pedang membuat kisah hidupnya dipenuhi mitos dan legenda.

Keberhasilannya dalam menyelamatkan diri dalam perang puputan antara Kekaisaran Jepang Timur (Tokugawa Ieyasu) versus Kekaisaran Jepang Barat (Toyotomi Hideyori) pada 1600 membuat namanya semakin diakui di kalangan para samurai. Apalagi, keputusannya untuk menjadi shugyosha, samurai pengembara untuk mengasah keterampilan seni bela diri pedang dan terlibat dalam duel-duel mematikan membuat sosoknya seperti kelebatan bayangan dewa.

Seperti pengakuannya sendiri, mungkin dia memang memiliki bakat alami untuk menjadi seorang samurai. Tidak ada satu pun pedang samurai lain yang bisa mengambil nyawanya. Pertarungan pertamanya terjadi saat dia baru berusia 13 tahun dengan hasil tewasnya seorang samurai senior yang menjadi lawannya. Duel terakhir dan terpentingnya adalah melawan Sasaki Kojiro.

Saat itu, Kojiro adalah samurai terbesar di Jepang. Dia dikenal dengan teknik pedang tsubame gaeshi, yang bisa diartikan “memutar pedang dengan kecepatan burung melayang-layang”.

Pertarungan antara Musashi melawan Kojiro terjadi pada hari Jumat, 13 April 1612, sekitar pukul 10 pagi, di sebuah pulau kecil nan sepi yang bernama Funajima. Dalam pertarungan itu, pedang Musashi berhasil meremukkan rusuk kiri Kojiro. Kojiro tersungkur dengan darah yang keluar dari hidung dan mulutnya. Kojiro tewas.

Ketika semua samurai telah dikalahkan, inilah saatnya Musashi melambungkan namanya ke puncak ketenaran. Ketika samurai terbesar telah disingkirkan, inilah momentum untuknya meneguhkan kekuasaan. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Ada kesadaran yang tiba-tiba hadir. Ketika kekuatan di luar dirinya telah ditundukkan, dia menyadari ada kekuatan lebih besar yang selama ini terbiarkan, yaitu diri sendiri.

Dua tahun menjelang kematiannya pada 19 Mei 1645, dia menulis otobiografinya. Di dalamnya banyak ajaran berharga. Salah satu kuotnya yang sangat terkenal adalah, “Tidak ada apa pun di luar dirimu yang bisa membuatmu lebih baik, lebih kuat, lebih kaya, lebih cepat, atau lebih pintar. Semuanya ada di dalam. Jangan mencari apa pun di luar dirimu.”

Membaca Musashi memberi kesempatan bagi kita untuk merenungkan diri sendiri. Merenungkan tentang apa yang pada akhirnya kita cari. Jika yang kita kejar adalah kekayaan, sebanyak apa kekayaan akan membahagiakan kita? Jika yang kita cari adalah pangkat-kekuasaan, sebesar apa kekuasaan akan menenangkan kita? Mari kita teruskan pertanyaan ini untuk berbagai hal yang sedang kita kejar.

Pada akhirnya kita akan menemukan bahwa segala hal yang kita kejar untuk “memuasi” diri akan bermuara di dalam diri kita. Bukan kekayaan itu sendiri yang membahagiakan, tapi bagaimana kita memaknai dan menggunakannya. Kebaikan tidak berada pada kekuasaan itu sendiri, tapi pada cara kita memanfaatkannya.

Harta dan pangkat bisa menjadi malapetaka jika dipenuhi dengan kerakusan, muslihat, dan egoisme. Bahkan, hampir seluruh perang yang memusnahkan dalam sejarah peradaban manusia bermula dari kerakusan akan harta dan kekuasaan. Tapi, di tangan manusia yang telah menemukan dirinya, harta dan kekuasaan bisa menjadi sarana untuk mencapai kebaikan dan kemuliaan.

Syams Tabrizi, seorang sufi pengembara dari Iran, guru spiritual Jalaluddin al-Rumi, suatu kali pernah menyatakan, “Ketika seorang sufi masuk ke kedai minuman, kedai minuman itu ruang ibadahnya. Tapi ketika seorang pemabuk masuk ke ruang ibadahnya, ruang itu menjadi kedai minumannya.”

Pada akhirnya, semuanya memusat pada diri. Kesejatian tidak berada di luar sana, tapi di dalam sini. Sang Sufi al-Rumi suatu kali menulis, “Jangan melihat ke luar. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan carilah itu.”

Semua yang ada di luar diri kita adalah ketidaksempurnaan. Sebanyak apapun kita menumpuknya, yang kita punyai hanyalah ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Sementara, seluruh pencarian sesungguhnya adalah perwujudan kodrat manusia pada kesempurnaan, pendakian pada sang Maha Sempurna.

Kita diperkenankan memiliki apapun yang diciptakan Allah. Bahkan kita ditantang-Nya untuk menembus angkasa. Tapi semua itu hanya akan membawa kebaikan jika kita telah menemukan diri sendiri. Mengapa? Karena “man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu” (Siapa yang menemukan dirinya, sungguh dia menemukan Tuhannya).[]

DISCLAIMER: Saya tidak mengirim tulisan ini pada media tertentu. Siapa saja boleh mempublish, merepost, atau men-share. Tidak diperkenankan mengubah apapun tanpa seijin saya.

AICIS 2023 : MENGHASILKAN ENAM REKOMENDASI PENTING PIAGAM SURABAYA (SURABAYA CHARTER)

Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.

AICIS berlangsung sejak 2 Mei 2023 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang ini dibuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas dan ditutup oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi. Giat ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Forum ini menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. Tema yang diangkat pada gelaran tahun ini adalah Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.

Selain diikuti para ahli fikih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan muslim internasional. Hadir sebagai pembicara, antara lain: Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir), Dr Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof Dr Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof Mashood A. Baderin (Inggris), Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof Dr Şadi Eren (Turki), Prof Tim Lindsey PhD (Australia), Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).

Rumusan Surabaya Charter dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023 di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi Surabaya Charter, Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, Prof Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) dan pembicara kunci asing lainnya.

“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Ahmad Muzakki, di Surabaya, Kamis (4/5/2023).

“Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” lanjutnya membacakan rekomendasi berikutnya.

Rektor UIN Sunan Ampel Ahmad Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan? Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?

Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya, yaitu:

Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.

Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.

Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.

Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif. “Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sumber: Humas Kemenag

Tradisi Merari : Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal

 

             M. Harfin Zuhdi

Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia.

Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia.

Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal  sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.

Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung [great tradition] bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudaya andan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi kecil [little tradition] Islam. Berbagai warna Islam –-dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya—riuh rendah memberi corak tertentu keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu. Ambiguitas atau juga disebut ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan.

Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat suku Sasak Lombok, yaitu: (1) perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin); (2) perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah). Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan.

Selanjutnya, apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak membicarakan merari’, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merari’ sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah merari’ atau belum. Oleh karenanya tepat jika dikatakan bahwa merari’ merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan meminta seekor ayam.

Merariq dan Latar Sejarah Tradsinya

Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.

Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.

Berdasarkan informasi dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’) di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama, orisinalitas merari’. Kawin lari (merari’) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya.

Kedua, akulturasi merari’. Kawin lari (merari’) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam merari’. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas, tampak bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat akurasi lebih valid.

Dalam konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yakni merari’ ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali.

Tradisi merari’ ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.

Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada isi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional], karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja].  Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.

 

Prinsip Dasar Tradisi Merari’

Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau Lombok. Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina. jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’).

Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut.

Ketiga, egalitarianisme.Terjadinya kawin lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat.

Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wall sangat kenta! dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah membesarkan anakgadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.

Komersialisasi kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai nilai yang dipegangi masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh masyarakat Sasak.

Sisi Positif Tradisi Merari’

Sikap “heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang berkaitan dengan anjuran menikah.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah). Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun bathin, maka hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan bahwa: ”Berikanlah  maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan. Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan dengan sikap yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap berani melarikan anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya.

Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.  Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Demikian juga.acara nyongkolan merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh oknum  pada  acara nyongkolan yang  menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari substansi buku yang ditulis oleh Gde Suparman.

Saat ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merari’ ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain.

Sisi Negatif Tradisi Merari’

Dalam banyak aspek (ranah) kehidupan.ternyata perempuan Sasak masih sangat marginal (inferior), sementara kaum laki-lakinya sangat superior. Marginalisasi perempuan dan superioritas laki-laki memang merupakan persoalan lama dan termasuk bagian dari peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara, kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang tuanya).

Begitu juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan perempuan sebagai barang dagangan. Hal ini terlihat dari awal proses perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan dengan adanya tawar menawar uang pisuke (jaminan).

Menurut penuturan Muslihun Muslim, dosen IAIN Mataram, terdapat 9 bentuk superioritas suami sebagai dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’) sebagai berikut: (1) terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga; (2) terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik; (3) perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda); (4) terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok; (5) terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain; (6) kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya; (7) nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke; (8) kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul; (9) jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.

Oleh: Muhammad Harfin Zuhdi, MA

Sumber : https://lombokbaratkab.go.id/tradisi-merari%E2%80%99-akulturasi-islam-dan-budaya-lokal/

International Women’s Day 2023, Momentum Kesetaraan Gender

Foto : Selamat Hari Perempuan International

Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) adalah hari yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 8 Maret untuk memperingati perjuangan perempuan dalam mencapai hak-hak yang sama dengan laki-laki, termasuk hak untuk memilih, hak mendapatkan pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan pada tahun 1911, dan sejak itu menjadi momen penting untuk merayakan kemajuan yang telah dicapai dalam perjuangan kesetaraan gender, serta untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang masih terpinggirkan dan belum tercapai.

Setiap tahun, tema Hari Perempuan Internasional berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan kesetaraan gender. Tema ini digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan kesadaran dan menginspirasi tindakan positif dalam upaya mencapai kesetaraan gender di seluruh dunia. Sejumlah acara dan kegiatan dilakukan pada Hari Perempuan Internasional, termasuk konferensi, seminar, aksi protes, kampanye sosial media, dan lain sebagainya.

Hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan pada tahun 1911 oleh kaum perempuan di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat sebagai upaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk hak memilih dan hak bekerja. Sejak itu, Hari Perempuan Internasional menjadi momen penting untuk merayakan kemajuan yang telah dicapai dalam perjuangan kesetaraan gender, serta untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang masih terpinggirkan dan belum tercapai.

Tema Hari Perempuan Internasional tahun ini, yaitu kesetaraan gender, mencerminkan pentingnya pengakuan bahwa gender bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi pengalaman seseorang di masyarakat. Hal ini penting dalam mempromosikan kesetaraan dalam segala bentuk, termasuk kesetaraan akses terhadap sumber daya, kesetaraan kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan, dan kesetaraan dalam keterwakilan politik.

Jadilah perempuan tangguh dan berani berkarya serta menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitarmu.

Setiap tahun, tema Hari Perempuan Internasional berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan kesetaraan gender. Tema ini digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan kesadaran dan menginspirasi tindakan positif dalam upaya mencapai kesetaraan gender di seluruh dunia. Sejumlah acara dan kegiatan dilakukan pada Hari Perempuan Internasional, termasuk konferensi, seminar, aksi protes, kampanye sosial media, dan lain sebagainya.

Foto : Selamat Hari Perempuan International

Kesetaraan gender sangat penting karena setiap orang, tanpa pandang jenis kelamin, berhak mendapatkan hak yang sama dan diakui sebagai individu yang setara di masyarakat. Ketika kesetaraan gender tercapai, maka akan tercipta masyarakat yang adil dan setara, di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mengambil keputusan, mengakses sumber daya, dan mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan, pekerjaan, dan keterwakilan politik..-ADS

Surat Edaran Menteri Agama, SE No 05 tahun 2022, Menciptakan Kerukunan Umat Beragama

Foto : Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas

Kerukunan umat beragama merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus dijaga dengan baik di dalam sebuah masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Keberadaan kerukunan ini memberikan manfaat yang besar bagi kemajuan masyarakat, baik dari segi sosial, budaya, maupun politik.

Dalam sebuah masyarakat yang heterogen, konflik antar kelompok agama dapat sangat merusak tatanan sosial, menciptakan ketegangan dan bahkan membawa dampak buruk pada kemajuan bangsa. Oleh karena itu, keberadaan kerukunan umat beragama sangat diperlukan untuk menjaga harmoni antar kelompok agama dan menghindari konflik yang berpotensi merusak kehidupan bermasyarakat.

“Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat,” ujar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Kerukunan umat beragama juga menjadi landasan bagi tumbuhnya toleransi dan saling menghargai antar kelompok agama. Dengan adanya kerukunan, masyarakat menjadi lebih terbuka dan saling memahami kepercayaan agama dan kebudayaan masing-masing, sehingga dapat tercipta harmoni dan perdamaian.

Foto : Ilustrasi Gambar Kerukunan Umat Beragama

Namun, kerukunan umat beragama tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang mudah dicapai dan dipertahankan. Hal ini membutuhkan upaya dan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama, maupun masyarakat. Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kerukunan umat beragama, dengan memperkuat toleransi, menghargai perbedaan, dan menghindari diskriminasi atau tindakan yang merugikan kelompok agama lainnya.

Kerukunan umat beragama juga harus terus dikembangkan dan ditingkatkan melalui berbagai kegiatan dan program yang dapat memperkuat hubungan antar kelompok agama. Dalam hal ini, pemerintah harus memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kerukunan umat beragama.

Kerukunan umat beragama menjadi fondasi penting bagi terciptanya perdamaian dan kemajuan masyarakat yang heterogen. Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama dan berkomitmen untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan umat beragama demi kepentingan bersama.

Tiga bentuk kerukunan umat beragama yang terus ditingkatkan dan dijadikan acuan dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik di Indonesia mencakup kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Sebagai sebuah negara yang heterogen, Indonesia menghargai pentingnya merawat kerukunan tersebut sebagai suatu kewajiban.

Pemerintah dan komponen masyarakat lainnya harus terus berupaya memperkuat kerukunan umat secara menyeluruh. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan meningkatkan kualitas penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan perayaan agama, serta melaksanakan ibadah dengan baik. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua orang dapat menikmati kenyamanan di ruang publik sambil melaksanakan ibadah atau merayakan agama mereka dengan damai. Dengan demikian, suasana yang harmonis dan khusyuk dalam beribadah diharapkan dapat diwujudkan bagi semua umat beragama. -ADS

Raih Man Of The Year 2022 Versi Times Indonesia, Simbol Kesuksesan Prof. Dr. TGH. Masnun, M.Ag

 

Anugerah TIMES Indonesia (ATI) tahun 2022 ini telah memasuki tahun keempat. Tahun ini, tema yang diangkat “Perjuangan Indonesia (Struggle of Indonesia)” Tema ini diambil sebagai bentuk apresiasi dari TIMES Indonesia kepada mereka yang telah berjuang untuk keluar dari masa sulit pandemi Covid-19.

Anugerah TIMES Indonesia (ATI) tahun 2022 ini, dimana keberadaan daerah-daerah untuk penanganan Covid-19 tentu tidak bisa dianggap remeh. Mereka juga punya peran penting dalam penanggulangan Covid-19 di masing-masing wilayah. Tokoh-tokoh yang mendapatkan ATI 2022 ini telah melalui penilaian yang matang baik dari redaksi TIMES Indonesia dan juga melibatkan pandangan beberapa praktisi.

Foto: Prof TGH Masnun, M.Ag

Guru Nun sapaan akrabnya, dimana raihan prestasi versi TIMES Indonesia yang diraihnya merupakan berkah dan simbol kesuksesan yang menggambarkan peran yang dilakukan oleh Prof. Dr. TGH. Masnun, M.Ag sejauh ini. Peran tersebut tidak terlepas dari Guru Nun sapaan akrabnya yang menjadi Tanfidziyah PW NU NTB dan Rektor UIN Mataram. Hal ini menunjukan bahwa amanah yang di emban dalam kiprahnya ini sangat memberikan dampak terhadap semua elemen masyarakat khususnya di NTB. -ADS

Bung Hatta dan Teosentrisme Pancasila

Setelah Sukarno, pendiri bangsa yang menulis serius tentang Pancasila adalah Mohammad Hatta. Karib Proklamator yang menjadi bagian dari Dwi Tunggal Sukarno-Hatta ini pada satu sisi melanjutkan gagasan Sukarno, namun pada saat bersamaan mengembangkannya. Pengembangan yang dilakukan Hatta adalah pengembangan konseptualisasi Pancasila yang bersifat teosentris.

Pemikiran Pancasila Hatta disebut teosentris karena ia menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai yang memimpin dan membimbing sila-sila lainnya sebagai kesatuan. Dalam pemikiran Hatta, sila ketuhanan menjadi sumber bagi sila-sila di bawahnya. Inilah yang membuat Pancasila bersifat teosentris, dimana ketuhanan menjadi pusat dari sila-sila lainnya. Sifat teosentris ini melahirkan konsep Pancasila yang religius serta etis, karena pemusatan ketuhanan dilakukan Hatta untuk menempatkan nilai ketuhanan sebagai etika penyelenggaraan negara.

Foto Bung Hatta

Pemikiran Pancasila Hatta ditulis dalam beberapa buku. Yakni Jalan Lurus Pancasila (1969), Pengertian Pancasila (1977) dan Uraian Pancasila (1977). Dua buku pertama merupakan karya pribadi. Sedangkan buku ketiga merupakan karya bersama dengan pendiri bangsa lain yang tergabung dalam Panitia Lima. Akan tetapi, rumusan makna sila-sila Pancasila dalam Uraian Pancasila, diambil dari tulisan Bung Hatta dalam Pengertian Pancasila.

Menarik kiranya ketika buku Pengertian Pancasila tersebut merupakan penerbitan atas pidato Bung Hatta dalam peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Sebuah pidato yang lahir dari kejujuran Hatta terhadap peran Sukarno sebagai penggali Pancasila melalui pidato 1 Juni 1945. Menarik karena di tahun ini, peringatan Harlah Pancasila 1 Juni telah dilarang oleh Orde Baru sejak 1970. Akan tetapi Bung Hatta tetap memperingatinya sebagai bagian dari komitmennya terhadap sejarah kelahiran Pancasila yang lurus.

Buku Pengertian Pancasila menjadi bukti bahwa Hatta adalah tokoh yang kokoh dalam menjaga kejujuran sejarah Pancasila. Sejak awal dekade 1970, ia berteriak lantang menegaskan kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945 melalui pidato karibnya, Sukarno. Teriakan lantang ini ia tulis di berbagai buku, sejak Memoir (1979)-nya, hingga ditegaskan dalam notulensi rapat Panitia Lima yang diketuainya dalam buku Uraian Pancasila. Namun meskipun menegaskan kelahiran Pancasila pada 1 Juni, Hatta melakukan pengembangan konsep Pancasila yang berbeda dari Sukarno. Hanya saja meskipun melakukan pengembangan konseptual, Hatta menegaskan bahwa Pancasila tidak mengalami perubahan sejak diusulkan Sukarno pada 1 Juni hingga resmi pada 18 Agustus 1945. Pengembangan yang terjadi dalam konteks penguatan dimensi moral di atas dimensi politik Pancasila.

Perubahan Posisi Ketuhanan

Ketika ide Sukarno ditetapkan oleh Sidang BPUPKI sebagai bahan utama perumusan dasar negara (Panitia Lima, 1977:35), maka Pancasila menjadi dasar negara yang sejak awal bersifat religius. Hal ini makin menguat ketika Panitia Sembilan yang diketuai Sukarno dan beranggotakan; Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, AA Maramis (golongan kebangsaan) serta Haji Agus Salim, Kiai Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Kahar Muzakir (golongan Islam), menaikkan ketuhanan dari sila kelima, menjadi sila pertama.

Melalui perubahan posisi ini, nilai ketuhanan tidak hanya menjadi akar bagi sila-sila lainnya, melainkan menjadi “dasar yang memimpin dan membimbing” sila-sila di bawahnya. Memang sempat terjadi penyempitan konsep ketuhanan ketika sila ketuhanan tersebut diimbuhi kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan Piagam Jakarta. Namun, penghapusan “tujuh kata” tersebut digantikan dengan frasa Ketuhanan Yang Maha Esa, telah mengembalikan nilai ketuhanan Pancasila ke sifat dasarnya yang inklusif. Penghapusan “tujuh kata syariah” dan penggantian dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti proses kembali pada ide dasar ketuhanan dalam pidato 1 Juni Sukarno, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersifat inklusif dan pluralis.

Dalam konteks perubahan rumusan Pancasila 1 Juni menjadi Pancasila resmi 18 Agustus 1945, Hatta memulai konsepsi Pancasilanya. Kajian Hatta terletak pada konsekuensi dari perubahan rumusan Pancasila tersebut, dengan titik fokus perubahan posisi sila ketuhanan, dari sila kelima, menjadi sila pertama.

Sebagai tanggapan terhadap ide Pancasila Sukarno pada 1 Juni, dalam Pengertian Pancasila (1977), Bung Hatta menyatakan:

“Pancasila permulaan itu, rumusannya dan urutannya: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; 5. Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadinya berlainan dari formula dan uraian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar. Tetapi dasar ideologi sama”. (Hatta, 1977: 12).

Lebih lanjut ia menjelaskan:

“Pancasila terdiri atas dua lapisan fundamen, yaitu: 1. Fundamen politik; 2. Fundamen moral (etik agama). Bagi Bung Karno, sendi politik didahulukan, sendi moral jadi penutup”. (Hatta, 1977: 12).

Ketika susunan sila-sila berubah dalam Pancasila resmi, maka menurut Hatta, fundamen moral lalu berada di atas. Fundamen moral yang dimaksud ialah moralitas keagamaan yang bersumber dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ujar Hatta, “Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. (Hatta, 1977: 17).

Untuk sila ketuhanan usulan Sukarno, Hatta menyatakan, “Dasar kelima: Ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain, sehingga segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan yang dituju pula dengan Ketuhanan yang berkebudayaan itu ialah Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ini artinya, Hatta memahami sila ketuhanan Sukarno sebagai prinsip ketuhanan yang berkebudayaan yang merujuk pula pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Tepat di sinilah kritik Hatta. Sebab ketuhanan yang berkebudayaan, yang menjadi sila kelima itu, ialah prinsip ketuhanan secara sosiologis. Ia hanya mengatur hubungan antar-umat beragama, agar terjalin toleransi dan sikap hormat menghormati.

Prinsip ini lalu direvisi oleh rumusan Pancasila resmi, melalui perubahan posisi ketuhanan, dari sila kelima, menjadi sila pertama. Dalam hal ini, Hatta menyatakan:

“Akibat daripada perubahan urutan sila yang lima itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah karena itu, ialah bahwa politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya” (Hatta, 1977: 30).

Melalui pandangan ini, Hatta telah memulai apa yang ia maksud dengan perkembangan paham Pancasila. Artinya, perkembangan pemahaman atau konsep tentang Pancasila, dari ide Pancasila pada 1 Juni, menjadi konsep Pancasila resmi. Perkembangan itu terdapat terutama pada perkembangan konsep ketuhanan. Pada ide 1 Juni, ketuhanan bersifat sosiologis karena hanya menyediakan prinsip toleransi antar-agama. Pada rumusan Pancasila resmi, ketuhanan bersifat etis, menjadi sila yang memimpin penyelenggaraan negara. Dalam kerangka etis ini, maka sila ketuhanan lalu menyifati sila-sila di bawahnya, sehingga sila-sila tersebut bermoralkan etika ketuhanan.

Dalam kaitan ini, Hatta lalu mengembangkan konsep ketuhanan Pancasila menjadi beberapa prinsip penting. Pertama, ketuhanan lalu menjadi dasar yang memimpin cita-cita negara untuk menyelenggarakan praktik kenegaraan yang baik dan mulia. Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa membimbing sila-sila lainnya menjadi kesatuan nilai yang saling mengikat. Sebagaimana penegasannya:

“Di bawah bimbingan sila yang pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu ikat-mengikat” (Hatta, 1977: 20).

Artinya, Ketuhanan Yang Maha Esa lalu membimbing sila-sila di bawahnya menjadi kesatuan nilai yang ikat-mengikat. Penegasan bahwa ketuhanan membimbing sila-sila lainnya secara kesatuan juga beliau nyatakan, “Karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menghidupkan perasaan yang murni senantiasa, terdapatlah pasangan yang harmonis antara kelima-lima sila itu. Sebab apa artinya pengakuan akan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila kita tidak bersedia berbuat dalam praktik hidup menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti kasih dan sayang serta adil?” (Hatta, 1977: 31).

Dengan demikian bisa dipahami bahwa kesatuan sila kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial dengan sila ketuhanan, merupakan konsekuensi logis dari komitmen pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab menurut Bung Hatta, komitmen kepada Tuhan tidak akan bermakna jika tidak dibuktikan oleh tindakan yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan, yakni Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Adil. Ini berarti, Hatta memaknai sila-sila Pancasila sebagai cerminan dari sifat Tuhan. Oleh karenanya, Berketuhanan Yang Maha Esa, berarti mengamalkan sila-sila di bawah ketuhanan sebagai pengamalan dari nilai ketuhanan tersebut.

Kesatuan sila-sila Pancasila dengan ketuhanan ditegaskan Hatta dalam penjelasannya mengenai sila-sila tersebut:

  • Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, tak lain dari kelanjutan dengan perbuatan dalam praktik hidup daripada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar yang memimpin tadi. Sebab itu pula letaknya dalam urutan Pancasila tidak dapat dipisah dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • Dasar kemanusiaan ini, yang berakar pada kehendak Tuhan Yang Maha Esa selanjutnya tercermin dalam sila ke-4 (kerakyatan) dan ke-5 (keadilan sosial).
  • Di bawah pengaruh dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang akan dilaksanakan itu hendaklah berjalan di atas kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, kesucian dan keindahan. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang diamalkan seperti disebut tadi, akan memelihara kerakyatan kita dari bujukan korupsi dan gangguan anarki. (Hatta, 1977: 32-36)

Dari penjelasan di atas, Hatta secara eksplisit menghubungan sila ketuhanan dengan sila kemanusiaan dan sila kerakyatan. Mungkin karena kedua sila ini mencerminkan prinsip perbuatan manusia, sehingga terkait dengan pengakuan kepada Tuhan. Terhadap sila kebangsaan dan keadilan sosial, Hatta tidak eksplisit menghubungkannya dengan ketuhanan. Sebab ia lebih banyak memaparkan konsep rasional tentang bangsa dan keadilan ekonomi. Tidak dihubungkannya kedua sila terakhir dengan ketuhanan, tidak berarti keterpisahan dengan sila yang memimpin tersebut. Sebab sejak awal Hatta menegaskan bahwa kelima sila saling mengait di bawah bimbingan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perspektif Hattaian

Konsep Hatta tentang Pancasila yang bersifat teosentris mendapatkan apresiasi, terutama karena ia mampu memberikan penafsiran yang bisa diterima oleh kelompok agama. Hal ini dinilai penting, karena sejak kelahirannya hingga saat ini, kelompok agama inilah yang menawarkan ideologi alternatif atas Pancasila. Dalam kaitan inilah, inspirasi Hatta lalu melahirkan “perspektif Hattian” dalam membaca Pancasila. Perspektif ini secara langsung terinspirasi dari pemikiran Hatta, atau memiliki napas yang sama meskipun tidak memiliki hubungan secara langsung.

Apresiasi terhadap konsep Hatta tersebut, salah satunya disampaikan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam Islam dan Pancasila sebagai Dasar NegaraStudi tentang Perdebatan dalam Konstituante (1985). Dalam menanggapi konsep Pancasila Hatta yang menempatkan sila ketuhanan sebagai nilai sentral, Ma’arif menyatakan:

“Bagaimana argumen-argumen Hatta tentang Pancasila? Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Hatta, merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila. Dengan berpegang teguh pada filsafat ini, pemerintah negara Indonesia, kata Hatta, jangan sampai menyimpang dari jalan lurus bagi keselamatan negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan persaudaraan antar-bangsa. Dengan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, negara memperoleh landasan moral yang kukuh. Inilah inti pendapat Hatta tentang Pancasila. Sekalipun tidak terang-terangan mengatakan bahwa pendapatnya itu diambil dari ajaran Islam, tetapi orang sudah tahu bahwa pengertian Pancasila semacam ini hanyalah mungkin karena Hatta adalah seorang Muslim yang taat dan konsisten. Di sinilah letaknya kekuatan argumen Hatta”. (Ma’arif, 1985: 212)

Dengan konsep Pancasila yang religius, bahkan teologis seperti ini, maka pemikiran Hatta semestinya bisa menjadi jembatan, terutama bagi kelompok keagamaan, untuk tidak menyangsikan Pancasila. Senapas dengan apresiasi Ma’arif terhadap konsep Pancasila Hatta, maka Ma’arif pun memiliki penafsiran yang sebangun dengan pemikiran Sang Proklamator tersebut. Menurut Ma’arif:

“Bila sila Ketuhanan Yang Maha Esa dipercayai sebagai sumber sila-sila yang lain, kemudian barangkali masalahnya mendekati penyelesaian. Namun sayangnya, usaha ke arah itu dalam majelis (Konstituante) tidak dilakukan secara serius oleh golongan manapun. Di mata al-Qur’an, hubungan antara kepercayaan kepada Allah dengan prinsip keadilan sosio-ekonomi adalah ibarat hubungan antara dua sisi mata uang yang sama. Jika jalan analisis ini dapat diterima, maka kemudian persoalannya adalah apakah Pancasila bersedia atau tidak menaikkan dirinya dengan mengambil nilai-nilai moral fundamental seperti diajarkan oleh agama-agama wahyu..” (Ma’arif, 1985: 201)

Pandangan Ma’arif ini bersifat Hattaian, karena ia menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber bagi sila-sila lainnya. Dengan cara ini, maka terbangun kesatuan antara sila ketuhanan pada satu sisi, dengan sila kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial pada saat bersamaan. Sebab di dalam Islam misalnya, iman kepada Tuhan, serta keadilan sosial-ekonomi merupakan kesatuan nilai yang tidak terpisah.

Konsep Pancasila Hattaian yang bersifat teosentris ini melengkapi gagasan Pancasila Sukarno yang bersifat nasionalistik dan sosiosentris. Nilai plus konsep Hatta ialah potensi penerimaan dari kalangan keagamaan, sebab dalam pandangan Hatta, Pancasila merupakan dasar negara religius dan teosentris. Meskipun konsep Pancasila Hatta dan Sukarno tidak bisa dibandingkan secara oposisional. Keduanya memiliki konteks masing-masing serta signifikansinya sendiri. Untuk menegaskan Pancasila sebagai dasar negara nasional yang memayungi keragaman bangsa, gagasan Pancasila Sukarno sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk menguatkan Pancasila sebagai dasar negara religius guna menolak anggapan kelompok keagamaan yang menilai Pancasila sekular, maka konsep Pancasila Hatta kita butuhkan. Keduanya saling melengkapi demi kuatnya negeri ini.

 

Sumber:

Bung Hatta dan Teosentrisme Pancasila

TOLERASNI SEBAGAI LANDASAN BERMASYARAKAT

TOLERASNI SEBAGAI LANDASAN BERMASYARAKAT

Toleransi antar-umat beragama adalah kunci utama bagi kemajuan bangsa. Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan keberagaman budaya dan agama, telah membuktikan bahwa toleransi merupakan hal yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan damai. Toleransi antar-umat beragama menghasilkan kerukunan dan perdamaian yang sangat diperlukan dalam menciptakan kemajuan bangsa.

Toleransi antar-umat beragama mengandung arti bahwa kita harus menerima keberagaman agama, keyakinan, dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Kita harus menghargai perbedaan dan menghormati hak asasi manusia tanpa melihat latar belakang agama, ras, suku, atau budaya. Dengan adanya toleransi, maka akan tercipta kerukunan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

seperti yang di jelaskan oleh:

Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Tsaquf dalam salah satu wawancara di salah satu stasiun tv nasional mengatakan,  Idealisme Gus Dur itu adalah Kemanusiaan yang Inklusif. Bahwa semua yang beliau lakukan adalah untuk kemaslahatan semua orang tanpa terkecuali, bukan untuk diri sendiri, bukan untuk kelompok sendiri, tapi untuk seluruh umat manusia”.

“Semakin tinggi ilmu seseorang,  semakin besar rasa toleransinya”, pesan dari Bapak Toleransi Indonesia, Gus Dur.

Toleransi antar-umat beragama juga memungkinkan terciptanya kebebasan beragama, dimana setiap orang bebas memeluk agama dan keyakinan yang sesuai dengan hati nuraninya tanpa ada paksaan atau diskriminasi. Kebebasan beragama menjadi hak asasi manusia yang harus dihargai dan dilindungi oleh negara.

Kemajuan bangsa tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi, tetapi juga dalam aspek kehidupan sosial dan budaya. Toleransi antar-umat beragama menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan bangsa di bidang ini. Dalam masyarakat yang toleran, akan tercipta kerukunan dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada akhirnya akan mendorong kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Namun, toleransi antar-umat beragama tidak datang dengan mudah. Dibutuhkan kesadaran dari setiap individu untuk menghargai perbedaan dan menerima keberagaman. Pendidikan dan sosialisasi yang baik tentang pentingnya toleransi juga sangat diperlukan dalam menciptakan masyarakat yang toleran.

Dalam menjalankan toleransi antar-umat beragama, harus juga dihindari tindakan atau ucapan yang dapat menyinggung atau merendahkan agama dan keyakinan orang lain. Kita harus menghargai dan memuliakan agama yang dianut oleh setiap orang, tanpa ada perbedaan perlakuan. Kita harus berusaha menciptakan ruang dialog dan diskusi yang positif dalam memahami keberagaman agama dan budaya yang ada di sekitar kita.

Dalam kesimpulannya, toleransi antar-umat beragama adalah kunci utama bagi kemajuan bangsa. Dengan adanya toleransi, maka akan tercipta kerukunan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Toleransi juga memungkinkan terciptanya kebebasan beragama, yang menjadi hak asasi manusia yang harus dihargai dan dilindungi oleh negara. Oleh karena itu, kita semua harus menerapkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari, untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan damai, yang pada akhirnya akan memajukan bangsa. -ADS

Kemenag Terbitkan KMA Kuota Haji 1444 H, Ini Sebaran dan Ketentuannya

Kemenag Terbitkan KMA Kuota Haji 1444 H, Ini Sebaran dan Ketentuannya

Dalam KMA yang ditandatangani Menag Yaqut tertanggal 13 Februari 2023 ini ditetapkan bahwa kuota haji Indonesia tahun 1444 H berjumlah 221.000, terdiri atas 203.320 kuota haji reguler dan 17.680 kuota haji khusus.

 

“KMA tentang Kuota Haji Indonesia Tahun 1444 H/2023 M sudah terbit. KMA ini akan jadi pedoman seluruh jajaran Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah serta Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji Khusus dalam melakukan finalisasi penyediaan layanan jemaah haji Indonesia,” tegas Menag di Jakarta, Kamis (23/2/2023).

 

KMA ini, lanjut pria yang akrab disapa Gus Men, menetapkan bahwa kuota haji reguler terdiri atas 190.897 kuota jemaah haji reguler tahun berjalan, 10.166 kuota prioritas lanjut usia, 685 kuota pembimbing dari unsur Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah, dan 1.572 kuota petugas haji daerah. Kuota Petugas Haji Daerah ditetapkan paling banyak tiga orang untuk satu kelompok terbang

 

“Bagi provinsi yang menetapkan dan membagi kuota haji ke dalam kuota kabupaten/kota, ditetapkan secara proporsionalitas berdasarkan proporsi jumlah penduduk muslim dan/atau daftar tunggu pada masing-masing kabupaten/kota,” jelas Menag.

 

“Apabila sampai penutupan pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) masih ada sisa kuota jemaah haji reguler, kuota prioritas lansia, kuota petugas pembimbing ibadah haji dari KBIHU, dan kuota Petugas Haji Daerah, maka sisa kuota tersebut digunakan untuk jemaah haji reguler nomor porsi berikutnya,” lanjutnya. 

 

Apabila masih terdapat sisa kuota haji provinsi pada akhir masa pelunasan BPIH, sisa kuota haji provinsi dapat diberikan kepada provinsi lain dengan mengutamakan provinsi dalam satu embarkasi.

 

Sementara untuk kuota haji khusus, kata Gus Men, terdiri atas 16.305 kuota jemaah haji khusus dan 1.375 kuota petugas haji khusus. Apabila sampai penutupan pelunasan masih terdapat sisa kuota jemaah haji khusus dan petugas haji khusus, maka kuota tersebut akan digunakan untuk jemaah haji khusus berdasarkan urutan nomor porsi berikutnya yang siap berangkat.

 

“Jemaah haji yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji tahun 1441 H/2020 M yang tidak masuk alokasi kuota dan/atau menunda keberangkatan pada tahun 1443 H/2022 M diprioritaskan menjadi jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444 H/2023 M sepanjang kuota haji tersedia,” sambungnya.

 

Berikut sebaran daftar kuota haji reguler per provinsi tahun 1444 H/ 2023 M:
1. Aceh: 4.378
2. Sumatera Utara: 8.328
3. Sumatera Barat: 4.613
4. Riau: 5.047
5. Jambi: 2.909

 

6. Sumatera Selatan: 7.012
7. Bengkulu: 1.636
8. Lampung: 7.050
9. DKI Jakarta: 7.926
10. Jawa Barat: 38.723

 

11. Jawa Tengah: 30.377
12. DI Yogyakarta: 3.147
13. Jawa Timur: 35.152
14. Bali: 698
15. NTB: 4.499

 

16. NTT: 668
17. Kalimantan Barat: 2.519
18. Kalimantan Tengah: 1.612
19. Kalimantan Selatan: 3.818
20. Kalimantan Timur: 2.586

 

21. Sulawesi Utara: 713
22. Sulawesi Tengah: 1.993
23. Sulawesi Selatan: 7.272
24. Sulawesi Tenggara: 2.019
25. Maluku: 1.086

 

26. Papua: 1.076
27. Bangka Belitung: 1.065
28. Banten: 9.461
29. Gorontalo: 978
30. Maluku Utara: 1.076

 

31. Kepulauan Riau: 1.291
32. Sulawesi Barat: 1.453
33. Papua Barat: 723
34. Kalimantan Utara: 416

 

 

 

 

 

sumber: https://www.kemenag.go.id/read/kemenag-terbitkan-kma-kuota-haji-1444-h-ini-sebaran-dan-ketentuannya-oqa2v